Label

kritikkecil

Kamis, 22 Desember 2011

[Ibu, Desember, dan TKI]



TIAP DESEMBER, diam-diam saya memperingati para perempuan TKI, baik yang ibu maupun calon ibu. Yang saya kenal, maupun tidak saya kenal.

sumber gambar i-berita.com
Tahun ini, vivanews menyebut-nyebut kuartal pertama tahun 2011, pengiriman uang dari TKI mencapai US$ 1,6 milyar atau sekitar Rp 14 triliun. Kita kemudian berpikir, penghasilan mereka mampu menghidupi sebuah propinsi baru, namun ada yang senantiasa samun. Sejumlah oknum, dari pencari mangsa kelas rumput hingga PJTKI,  dari yang formal sampai yang abal-abal; gemar membuat pangkas dan jadi calo yang cela. Ini baru soal uang. Belum lagi soal tubuh. Soal psikis dan nyawa yang telah atau mau dipenggal, dan sudah terlalu banyak dibicarakan, dibahas, dipikirkan, diberi janji, dan selalu saja demikian. Seolah semuanya tak lebih dari apologi melodramatik dari politik praktis. Politik yang ikut dibiayai dari keringat perempuan TKI. Kita kemudian bertanya: bagaimana baiknya?
Di desa saya, di kawasan selatan Jawa Tengah, teman-teman sekolah saya, khusunya yang perempuan, dari SD, SMP, SMA, selalu ada yang diterbangkan ke “luar”. Alasan ekonomi, perhalan saya amati, bergerak menjadi semacam tradisi. Demikian juga dengan mereka yang sebelumnya telah berkeluarga.
Tidak dapat dipungkiri, data BPS menunjukan tahun 2011 pengangguran berjumlah 119,4 juta orang dari 230 juta penduduk Indonesia. Motif kerja adalah motif utama bagi mereka. Dan, sebagian besar pulang; berhasil dengan derajat tertentu. Mereka merenovasi rumah, kemudian “terbang” lagi atau kembali menganggur, atau turun ke kebun, ke sawah, lalu tua, punya anak perempuan dan diterbangkan lagi ke “luar”.

Jamak sekali adegan yang berulang secara demikian, seperti jadwal pesta-pesta atas kontrak kerja yang sunyi.

Sistem kontrak memberi keuntungan bagi industri, tapi kerugian bagi pekerja, termasuk TKI. Oleh karenanya, Desember ini, saya ingin memperingati lagi sebuah kesadaran kecil; agar siklus pengiriman perempuan TKI tidak lagi komidi pasar malam yang hanya berputar dan berganti pemain, namun diganti menjadi siklus metamorfosis bagi kemandiran.
Sebab bagaimanapun, upaya preventif, upaya membangun kemandirian—“berdikari” dalam istilah Bung Karno—jauh lebih memiliki masa depan dari sekedar upaya-upaya sesaat terhadap perempuan TKI kita. Sekecil apapun itu.
Kita bisa mulai dari yang calon ibu. Kebanyakan mereka berangkat untuk motif ekonomi keluarga. Lapangan kerja di kota asal, maupun kota besar, tak lagi lapang. Mereka mengirimi sejumlah uang, tentu setelah dipotong ini-itu, pada orang rumah. Di rumah, ada digunakan untuk biaya pendidikan adiknya, biaya rumah tangga orang tuanya, merenovasi tempat tinggal, membeli prabot atau untuk kredit sepeda motor, dan lain sebagainya.
Setelah habis kontrak kerja sekian tahun, mereka pulang. Berbagai macam kondisinya, namun yang akan kita perhatikan adalah mayoritas nasib keuangannya. Pola pikir masyarakat desa terhadap orang rantau berupa serba sangat berbahaya; konsumsi yang serba, pakaian yang serba, gaya hidup yang serba. Hingga habislah uang TKI yang baru pulang untuk menuruti presepsi serba dan gengsi. Sementara uang kiriman awal, sebagian besar telah digunakan bukan untuk belanja modal, melainkan belanja konsumsi.
Faktor dari luar tersebut sangat berpengaruh. Yakni masyarakat dan keluarga Indonesia, yang sebagian besar belum membudayakan produksi. Sehingga, kerja di luar negeri, apalagi kerja kontrak, yang seharusnya mendapat modal untuk mandiri, malah dikonsumsi sekali hisap.  Saya ingat, Theodor Adorno dan Jean Badrillard pernah memasang alarm bahaya ketidaksiapan kita atas sistem kapital, yakni terciptanya masyarkat konsumtif yang tak lagi bisa membedakan antara kebutuhan (need) dan keingingan (want), terciptanya sebuah “tragedi industri” dan “dunia-hiper-realitas”. Kata Karl Marx yang begini adalah adanya sebuah internal economic irrationalities. Dan harus segera disadari: gunakanlah pendapatan untuk modal usaha, jangan peduli pada presepsi serba masyarakat konsumtif yang banal tadi.
Demikian berlaku juga pada yang ibu. Cemasnya lapangan kerja, membuat oleng keluarga. Ibu yang disayangi pun harus ikut meletak biduk dan menatak layar, pergi ke negeri orang, mencari rejeki berbekal rasa sayang. Komunikasi kasih dengan keluarga hanya melalui alat elektronik selama sekian tahun.

Para ibu TKI adalah ibu bagi kehidupan, bukan hanya keluarga mereka, tapi juga keluarga besar bangsa dan negara Indonesia.
Devisa begitu meruah karenanya. Kita harus kelola hasil mereka dengan baik. Harus! Oleh karenanya tiap Desember, tiap matahari medekapi lintang selatan dan hujan meniupkan dingin, diam-diam saya ingin bersama mereka yang ditinggal ibunya ke luar negeri, yang ditinggal kekasihnya ke negeri asing menjadi TKI, untuk sekedar duduk, menunduk, dan berdoa bersama dengan sederhana: semoga mereka, di negeri orang, sehat, bahagia, dan tak kurang suatu apa. Dan kami bisikkan, “Selamat hari ibu, kalian adalah ibu kebanggan kami.”[*]

(Tulisan ini juga dipublikasikan di Jawa Pos Radar Jogja; edisi 23 Des. 2011)